Surat Rindu dari Rantau


Susi Agustini, S.E., M.Si
Guru SMA Negeri 1 Besuki

Sepenggal bait surat rindu anakku, “Kisahku berawal dari bagaimana aku jauh meninggalkan rumah. Berusaha bertahan hidup demi impian yang ada di benakku. Aku bertahan bahkan berusaha mencari kenyamanan hingga aku berani memilih sesuatu di luar perkiraan semua orang. Semua ini mengajarkanku untuk melewati proses pendewasaan. Aku berjanji untuk sekuat tenaga membahagiakan ibu. Karena aku percaya doa di setiap sujud ibu selalu menyertaiku dalam setiap langkah menuju kesuksesan. Sejujurnya kesedihan terberatku adalah jauh dari ibu “.

Benar apa katamu anakku, tidak hanya engkau yang merasa sedih dengan adanya perpisahan ini. Ibumu juga terasa berat sekali berpisah darimu, karena sesungguhnya engkau adalah belahan jiwaku, permata hatiku dan pelita hidupku. Setiap hari sebelum kau pergi jauh ke tanah rantau, kau selalu mengisi hari-hari ibu dengan canda tawamu dan juga keluh kesahmu. Setelah seharian kau bergaul dengan temen-temanmu di sekolah banyak sekali oleh-oleh cerita yang kau bawa ke hadapan ibu. Celotehmu di hari-hari itu telah menghilangkan rasa penat di tubuh setelah seharian bekerja hingga menjelang maghrib tiba. Terasa segar kembali tubuhku, serasa diguyur air sejuk mata air pegunungan. candamu itu serasa angin semilir yang berhembus dari surga. Namun ...... jika kau datang bercerita dengan tangismu, terasa sembilu menusuk pedih hati dan jantungku.

Tidak jarang kau juga menceritakan detil bagaimana gurumu mulai dari cara mengajar, bentuk perhatian, sampai cara dan gaya berdandan. Oh anakku ….. ibumu ini juga guru, mungkin ibu juga begitu. Jika kau nilai gurumu, mungkin murid-murid ibu akan menilai persis seperti dirimu. Bersikaplah hormat dan patuh pada gurumu. Hargailah sebagaimana engkau menghargai ibumu. Sayangi gurumu sebagaimana kau sayang pada ibu. Engkau tahu karena di dalam berkah gurumu ada berkah ibu juga.

Dalam malammu yang diam dan sepi, dalam kerinduanmu yang sunyi, aku tahu engkau peluk mimpimu yang sangat besar. Engkau pun tahu di dalam mimpimu itu, tentu akan ada pengorbanan dan perjuangan yang akan dilakukan. Kuatlah dan tangguh seperti karang di tepi pantai yang tetap tegak dan kokoh walau ombak terus datang menghantam. Aku tahu mentalmu akan jauh lebih kuat dibandingkan ketika kau kecil yang masih lekat dalam buaian ibu.

Sejenak terhenyak untuk teringat kembali, saat pertama kali engkau langkahkan kaki meninggalkan rumah menuju kampus impianmu. Kembali sejuta kenangan akan dirimu datang menghampiri. Serasa kemarin aku menghantarmu ke taman kanak-kanak atau menemani ke alun-alun, menguatkan dirimu dengan memegang lembut tanganmu yang gemetar karena gugup ketika mengikuti lomba. Di saat itulah Ibumu ini terhentak, ibu harus bisa menerima kenyataan, yah ..... kini telah tiba saatnya engkau melangkah pergi untuk mengenal dunia, Pergilah anakku, tuntutlah ilmu setinggi langit. Gapailah bulan dan bintang di atas sana. Jika sudah kau gapai petikkan satu untuk ibumu ini.

Sungguh berat melepas anak semata wayang pergi ke tanah rantau. Ingin rasanya engkau terus aku dekap. Masih teringat jelas dalam ingatan tubuh kecilmu menggelayut manja di bahu ibu. Serasa tak ingin ku lepaskan. Tapi apa dayaku nak .... ibu tak bisa terus mendekapmu. Ibu harus tegar dan kuat karena ibu juga punya impian besar. Pergilah jauh menuntut ilmu, jangan pedulikan ibumu ini. Kembalilah pada ibu jika kau telah menjadi orang hebat di negeri ini. Engkau masa depan bangsa ini anakku. Kepadamu keletakkan harapan dan impian akan nasib negeri ini. Jadilah pemimpin yang jujur, welas asih pada saudara-saudaramu. Tinggikan empatimu, buang egomu. Tetaplah rendah hati dan jangan pernah haus dengan sanjungan. Karena sebenarnya sanjungan itu justru akan menjerumuskanmu.

          Engkau tahu negeri ini telah carut marut, negeri ini tidak pernah merdeka dari segala bentuk penjajahan. Belajarlah dari sejarah, jangan pernah kau ulangi kesalahan para pendahulumu. Baktikan dirimu pada ibu pertiwi. Sungguh kasihan ibu pertiwimu sudah sangat tua dan renta juga bernasib malang. Anak sulungnya (pemimpin di negeri ini) telah mengabaikannya, terlalu sibuk berebut kue kekuasaan. Tidak ubahnya berebut harta warisan saja. Sedangkan adik-adiknya (generasi muda), lihat saja hampir semua terbuai gaya hidup hedonis, suka mengisap candu dan bermalas-malasan dalam belajar.

Tapi ibu percaya bahwa untaian doa yang dipanjatkan dalam isak tangis sujudku akan terdengar membelah langit. Biarlah ibu di sini menerjang luka, Ibu masih sanggup berjalan menembus batas rasa karena hati ibu ini terbalut dengan doa. jangan pernah engkau katakan ibu dari semua luka-lukamu. Tidak anakku tidak .... Ibu masih kuat berjalan menempuh batas puluhan kilometer karena bakti ibu pada negeri ini.

Suatu saat ibu akan tersenyum bahagia. Biarlah luka itu berlalu, karena semua akan indah pada waktunya. Ibu akan berdiri bangga melihat kau meraih kesuksesan dengan darma baktimu pada negeri ini. Kau akan menjadi pengayom bagi yang lemah. tenaga dan pikiranmu dibutuhkan banyak orang. Engkau akan selalu hadir di dalam relung hati saudara-saudaramu yang tertimpa kesusahan. Karena nanti, engkau akan jadi penerang dalam kegelapan.

Jangan takut dengan tugas berat itu anakku. Jangan pernah surutkan langkah kakimu walaupun hanya sejengkal. Ibu akan selalu menemanimu karena ibu cinta pada negeri ini. Engkau katakan ibumu ini wanita dari cahaya, yang hatinya tergurat dalam doa-doa. Yah memang benar, ibu akan selalu menjadi cahaya bagimu. Tangan lembutku akan terus menuntunmu menuju gerbang cahaya. Dan percayalah cahaya itu akan membuatmu kuat menghadapi dunia.

                                                                                                Situbondo, 9 September 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kiat Sukses Menembus Gramedia Ala Amir Faisal

Minimnya Perlindungan Profesi Guru

Menanti Kereta Cepat Impian Rakyat