Melebur Batas Sekat Disabilitas
Susi Agustini, S.E., M.Si
Guru SMA Negeri 1 Panji
Telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan bahwa “setiap warga berhak mendapatkan pendidikan” [1] serta
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5
ayat (1) yang menegaskan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”[2]. Jika mengacu pada maklumat negara
tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin setiap warga negara tanpa terkecuali
warga negara yang dimaksud adalah mereka yang memiliki bakat dan kecerdasan
istimewa, dan mereka yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, intelektual dan
sosial dengan kata lain anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh akses
pendidikan yang sama.
Namun pada prakteknya
masih muncul paradigma atau pandangan dari masyarakat yang sangat
memprihatinkan terhadap anak berkebutuhan khusus yaitu mereka dengan kesulitan
belajar, anak lambat belajar, anak dengan ganguan autis, anak dengan gangguan
intelektual, anak dengan gangguan fisik dan motorik, anak dengan gangguan emosi
dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan anak berbakat. Sedangkan masyarakat dan kalangan
pendididk lebih menaruh perhatian pada
peningkatan mutu pendidikan secara horizontal maupun vertikal. Sehingga anak
bangsa yang berkebutuhan khusus ini sering termarginalkan dan terenggut hak
fundamentalnya.
Pelayanan pendidikan
terhadap anak berkebutuhan khusus memang memerlukan sarana dan prasarana yang
cukup besar serta tenaga dan perhatian ekstra tapi bukan berarti harus
ditinggalkan dan diabaikan karena mereka mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh pendidikan. Masyarakat harus merubah paradigm atau pandangannya
bahwa anak dengan berkebutuhan khusus keberadaannya hanya merepotkan, membebani
dan tidak mempunyai potensi apapun di dalam masyarakat. Konsep pendidikan
inklusi muncul dimaksudkan untuk memberikan jawaban atas adanya keraguan
pandangan terhadap anak-anak penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusif
mulai mengemuka dan menjadi perhatian masyarakat dunia setelah munculnya
gerakan menuju kesetaraan hak dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas bagi
semua anak. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’.
Selanjutnya setelah
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol
mencetuskan perlunya pendidikan inklusi
yang dikenal dengan “The Salamanca Statement on Inclusive Education”.
Dokumen ini mengakui adanya hak asasi dari semua anak-anak untuk pendidikan
inklusi dan telah ditanda tangani oleh 193 negara. Bahkan beberapa negara di
dunia seperti Kanada, Siprus, Denmark, Islandia, India, Luksemburg, Malta,
Belanda, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Uganda, Inggris, Amerika Serikat,
dan Italia telah membuat kemajuan yang signifikan, terbukti dengan cara
mempromosikan pendidikan inklusif ke dalam perundang-undangan nasional mereka.
Di Indonesia sendiri
dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 Tahun 2009
tentang pendidikan inklusif, menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.[3]
Hal ini tentunya
menjadi angin segar dan sebuah terobosan baru sebagai bentuk pelayanan
pendidkan bagi anak-anak penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan
pendidikan bersama yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
adanya kesetaraan hak dalam keragaman dan dengan memberikan ruang gerak yang
lebih luas agar keberadaan mereka tidak tersekat dalam kotak diskriminasi. Anak
berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus akan lebih berprestasi jika mereka
belajar bersama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah inklusif, dan tidak
ada label bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sebagai anak
cacat yang tidak mampu melakukan kegiatan belajar, tetapi mereka juga diakui
keberadaannya di masyarakat dan prestasinya.
Anak-anak penyandang
disabilitas menghadapi risiko yang lebih besar dengan tantangan-tantangan yang
disebabkan oleh ketidakmampuan mereka baik secara fisik maupun phikis serta
berbagai rintangan yang dihadirkan oleh masyarakat mereka sendiri seperti
praktek perlakuan diskriminatif. Di dalam masyarakat anak-anak penyandang disabilitas
menghadapi berbagai bentuk pengucilan yang mengunci kehidupan mereka dengan
gambaran kehidupan masa depan yang suram. Dengan demikian, anak-anak penyandang
disabilitas yang dikucilkan tidak tahu akan kelanjutan hidupnya di masa
mendatang dan terputus dari pelayanan publik yang sebenarnya mereka berhak
untuk mendapatkannya. Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang dan dapat
menimbulkan masalah-masalah kemasyarakatan di kemudian hari. Padahal anak-anak
penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya
termasuk layanan dalam mendapatkan pendidikan.
Penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas untuk semua siswa dalam setting inklusi merupakan
tantangan, kepentingan dan isu dalam pendidikan saat ini. Oleh karena itu
inklusifitas akan merupakan karakteristik dari sekolah di masa mendatang. Sudah
sewajarnya jika pendidikan inklusif mendapatkan dukungan sepenuhnya dari semua
pemangku kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat, karena semangat
pendidikan inklusif memang tidak lepas dari tatanan atau aturan-aturan dasar
kehidupan bangsa yang tidak tertulis, namun masih sangat kuat untuk membangun
landasan kebijakan dan sangat sesuai dengan filosofi bangsa yang menyatakan
Bhineka Tunggal Ika, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Menurut Mulyono
Abdulrahman, Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal
Ika.[4] Manifestasi dari adanya pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan
vertikal maupun horizontal. Berlandaskan keragaman untuk membangun kebersamaan
dan interaksi dilandasi dengan dasar saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi
Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk
kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama.
Secara kodrat setiap
manusia terlahir ke dunia dengan sejumlah kelebihan dan juga kekurangan.
Sejatinya dalam setiap individu yang dijumpai adanya kelainan tersembunyi
keunggulan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu yang terlahir
dengan kelebihan bakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena pada
prinsipnya tidak ada mahluk di dunia ini yang sempurna. Kecacatan dan
keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, dalam batas
sekat-sekat diskriminasi dan perampasan hak yang dialami oleh anak penyandang
disabilitas seperti halnya perbedaan suku, ras, budaya, atau agama. Hal ini
dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan inklusi dengan merangkul keragaman.
Sistem pendidikan yang memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar
siswa yang beragam. Bukan pula sekedar berbicara tentang istilah
“menyelamatkan” anak penyandang cacat, tetapi mempunyai makna yang lebih luas
lagi dalam upaiya-upaya menghilangkan hambatan-hambatan fisik, budaya, ekonomi,
komunikasi, mobilitas dan sikap yang menghalangi realisasi dari hak-hak
anak-anak penyandang disabilitas.
Menurut data PUSDATIN
dari Kementerian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia
adalah 11,580,117 orang. Dari jumlah tersebut 3,474,035 (30%) penyandang
disabiltais penglihatan, 3,010,830 (26%) penyandang disabilitas fisik,
2,547,626 (22%) penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 (12%) penyandang
disabiltias mental dan 1,158,012 (10%) penyandang disabilitas kronis. Meski
terdapat data tersebut, namun jumlah pastinya belum dapat diketahui. Hal ini
disebabkan di Indonesia sendiri, penyandang disabilitas masih sering dianggap
sebagai “aib” yang dapat mempermalukan citra keluarga sehingga kerap
disembunyikan sehingga mereka belum mendapat layanan pendidikan dengan berbagai
jenis kelainan, dan sebagian besar mereka tinggal di perdesaan dan pusat-pusat
perkotaan. Data yang menunjukkan bahwa kebutuhan atas diselenggarakannya
pendidikan inklusif sesuatu agenda besar yang tidak bisa ditawar lagi dan
memerlukan perhatian yang sangat besar dari semua pihak.
Diterimanya anak-anak
penyandang disabilitas di sekolah reguler terdekat merupakan mimpi yang indah
yang dirasakan oleh setiap orang tua yang memiliki anak-anak penyandang
disabilitas karena mereka tidak harus mendatangi sekolah khusus yang terletak
cukup jauh dari tempat tinggalnya. Disamping itu diterimanya keberadaan anak berkebutuhan
khusus untuk dapat berinteraksi secara normal dalam komunitas masyarakat yang
heterogen merupakan surga terindah bagi anak berkebutuhan khusus dan juga orang
tuanya. Seperti yang dikutip dalam The Salamanca Statement and Framework for
Action on Special Needs Education (1994), dinyatakan bahwa:
Inclusive education
means that : “… schools should accommodate all children regardless of their
physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This
should include disabled and gifted children, street and working children,
children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic
or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised
areas or groups.”
Sekolah reguler dengan
orientasi inklusif adalah lembaga yang paling efektif untuk membuka ruang
integrasi dan melebur batas sekat diskriminasi dengan menciptakan komunitas
ramah menyenangkan dan terbuka pada semua kalangan sesuai dengan semangat
kebhinnekaan. Daripada memisahkan anak-anak penyandang disabilitas di
sekolah-sekolah khusus, pendidikan inklusif cukup memberi arti dengan
memberikan kesempatan pembelajaran yang bermakna kepada semua anak dalam
sekolah reguler.
Pendidikan inklusif
dinilai penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia
secara penuh dan utuh. Anak-anak penyandang disabilitas yang mendapatkan
pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka yang normal akan mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi sehingga nantinya bisa tampil menjadi anggota
masyarakat yang produktif dan terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah normal dapat menyesuaikan
diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret sekolah
inklusif yang ideal di tengah-tengah teman sekolahnya.
Selain sebagai bentuk
anti diskriminasi, pendidikan inklusi yang dikembangkan secara terus menerus
akan memiliki dampak yang positif terhadap penguatan pendidikan karakter
peserta didik karena memiliki manfaat yang positif. Menurut Staub dan Peck
(1994/1995) ada lima manfaat dari program inklusif yaitu: pertama, hilangnya
rasa takut pada anak non berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan
anak berkebutuhan khusus (ABK). Kedua, anak non berkebutuhan khusus (non ABK)
menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu
teman anak berkebutuhan khusus (ABK). Ketiga, Banyak anak non berkebutuhan
khusus (non ABK) yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat
pergaulannya dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), yaitu dapat meningkatkan
status mereka di kelas dan di sekolah. Keempat, anak non berkebutuhan khusus
(non ABK) mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan
prinsip-prinsip etika. Kelima, Anak non berkebutuhan khusus (non ABK) yang tidak
menolak anak berkebutuhan khusus (ABK) mengatakan bahwa mereka merasa bahagia
bersahabat dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Dengan melihat beberapa
kelebihan dan manfaat pendidikan inklusi dengan demikian tidak ada alasan bagi
orang tua yang memiliki anak-anak normal merasa kuatir bahwa pendidikan
inklusif dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan
dari sisi penguatan pendidikan karakternya.
Namun ada beberapa
kendala yang ditemukan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi. Pendidikan
inklusi di Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang
cukup kompleks. Kendala-kendala itu misalnya minimnya sarana penunjang sistem
pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi harus
benar – benar dipersiapkan dengan matang. Apalagi sistem kurikulum pendidikan
umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang
memiliki perbedaan kemampuan. Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi
hanya terkesan program eksperimental dan terlaksana secara parsial.
Untuk menciptakan
lingkungan pembelajaran yang inklusif bagi anak-anak penyandang disabilitas
juga sangat tergantung dari guru yang memiliki pemahaman yang jelas tentang
pendidikan inklusif dan komitmen untuk mengajar seluruh anak. Seringkali, guru
tidak punya persiapan dan dukungan yang cukup untuk mengajar anak penyandang
disabilitas di kelas regular. Bila guru-guru dan petugas dilatih untuk
mempertimbangkan isu-isu terkait disabilitas, mereka melihat inklusi anak-anak
penyandang disabilitas secara lebih positif dari sisi kesetaraan hak.
Sementara itu,
kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat ditingkatkan melalui
studi banding dan program pelatihan. Misalnya studi banding ke propinsi Anhui,
Cina. Menurut Stubbs (2002:71-72), propinsi Anhui di Cina merupakan contoh yang
baik untuk kebijakan pemerintah yang memfasilitasi inklusif. Anhui adalah satu
propinsi yang miskin dengan penduduk 56 juta orang, dan untuk mencapai
pendidikan untuk semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu
diinklusikan. Pelatihannya perlu dilakukan di Indonesia agar lebih memahami
kondisi nyata di Indonesia.
Dalam prakteknya,
pendidikan inklusif tidak terlepas dari berbagai pihak terkait mulai dari
Pemerintah, Institusi seperti sekolah, pendidik, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat hingga orang tua untuk menunjang tercapainya tujuan dari pendidikan
inklusif itu sendiri. Pemerintah memiliki peranan yang menentukan dalam
memperkenalkan dan melaksanakan langkah-langkah strategis baik secara
legislatif, administratif, dan pendidikan yang diperlukan untuk melindungi anak
penyandang disabilitas dari segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan
penyalahgunaan. Pendidikan inklusi merupakan solusi alternatif terhadap kendala
sulitnya anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan secara utuh
di desa dan daerah terpencil.
Pendidikan inklusi
memandang realita kehidupan sehari-hari dengan menerima bahwa setiap anak
berbeda. Pendidikan ini dilakukan dengan prinsip-prinsip bahwa pendidikan itu
hak bagi semua anak tanpa melihat perbedaan fisik yang dimiliki oleh setiap
individu. Setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa
memandang kekurangan atau kelebihan mereka. Pada dasarnya setiap anak perlu
bermain dengan teman sebayanya tanpa ada batas sekat diskriminasi sosial. Oleh
karena itu pendidikan inklusif perlu sekali untuk di terapkan di Indonesia agar
anak-anak yg memiliki kekurangan tidak merasa diasingkan dan dapat belajar
dengan semestinya.
Diskriminasi merupakan
akar dari banyak tantangan yang dihadapi anak penyandang disabilitas dan
keluarga mereka. Penegasan kesamaan hak dan non-diskriminasi dalam
undang-undang dan kebijakan perlu dilengkapi dengan usaha-usaha untuk
meningkatkan kesadaran tentang disabilitas di kalangan masyarakat umum, mulai
dari mereka yang memberikan pelayanan penting kepada anak di bidang kesehatan,
pendidikan, dan perlindungan. Aspirasi untuk pendidikan inklusi besar
kemungkinan akan diwujudkan jika pemerintah dan para mitranya dapat bersinergi
secara penuh. Inklusi memberikan manfaat pendidikan seumur hidup kepada
anak-anak penyandang disabilitas: pekerjaan yang lebih baik, jaminan sosial dan
ekonomi, dan kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh di masyarakat.
Diskriminasi atas dasar disabilitas adalah sebuah bentuk penindasan. Membangun
kekuatan untuk perlindungan dari diskriminasi merupakan hal penting dalam
mengurangi kerentanan anak penyandang disabilitas.
Daftar Rujukan
Mulyono Abdulrahman.
(2003). Landasan pendidikan inklusif dan implikasinya dalam penyelenggaraan
LKPTK. Makalah disajikan daalam pelatihan penulisan buku ajar bagi dosen
Jurusan PLB yang diseleggarakan oleh Ditjen Dikti Depdikbud. Yogyakarta, 26
Agustus 2002
O’Neil.(1995) Can
Inclusion Work ? A Conversation with James Kuffman and Mara
Sapon-Shevin.Educational Leadership 52 (4)7-11
______(2009). Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif
bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa.
_______(1994) The
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Paris:
Author.
Staub, D., & Peck,
C.A, (1994/195). What are the outcome for nondisabled students? Educational
Leadership. 52 (4) 36-40.
_____ (1988). UUD 1945
P4 GBHN ( Tap No : II/MPR/1988). Jakarta. Percetakan UIP.
_____ (2003).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Simtem Pendidikan
Nasional. Jakarta
http://validnews.co/Fasilitas-Publik-dan-Penyandang-Disabilitas--V0000362
BPS . (n.d.). BPS
Dukung Hak Penyandang Disabilitas. Retrieved from Badan Pusat Statistik :
https://www.bps.go.id/index.php/kegiatanLain/91
UUD 1945 P4 GBHN (Tap
No : II/MPR/1988). Jakarta. Percetakan UIP.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Simtem Pendidikan Nasional. Jakarta
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional nomor 70 tah
Mulyono Abdulrahman.
(2003). Landasan pendidikan inklusif dan implikasinya dalam penyelenggaraan
LKPTK.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang sopan dan jangan buang waktu untuk melakukan spam. Terima kasih