Belajar Dari Tragedi Gladiator


Susi Agustini, S.E., M.Si
Guru SMA Negeri 1 Panji 

Dunia pendidikan Indonesia untuk kesekian kalinya kembali menorehkan noda hitam, setelah beberapa pekan lalu dihebohkan dengan membanjirnya peredaran ribuan obat jenis psikotropika jenis Paracetamol Caffeine Carisoprodol (PCC) di Kendari, Sulawesi Tenggara. Telah menjadi penyebab mabuk, perilaku aneh bahkan hilangnya puluhan nyawa siswa SD yang ditengarai overdosis PCC. Perhatian publik kembali terhenyak dengan adanya tragedi berdarah Gladiator yang menewaskan seorang siswa SMA Budi Mulya Bogor. Hillarius Christian Event Raharjo tewas karena dipaksa berduel ala gladiator dengan pelajar SMA Mardi Yuana Bogor. Duel maut itu terjadi sekitar pukul 15.00 WIB, di Taman Paluhu, Bogor.

Kronologis tewasnya Hillarius dimulai dengan satu setengah jam terlibat baku hantam, Singkat cerita Hillarius tidak sadarkan diri dan dibawa salah seorang rekannya ke RS Azra. Namun nyawanya tidak tertolong. dan orang tuanya pun mendapatkan kabar duka dari pihak rumah sakit dan Jenazah Hillarius dimakamkan dengan sejuta misteri penyebab kematian. Penyelidikan atas penyebab kematiannya timbul tenggelam. Pihak Kepolisian sempat turun tangan, namun penyelidikan dihentikan karena pihak keluarga menolak untuk dilakukannya otopsi.

Dua puluh bulan berlalu, pada tanggal 20 September Maria, ibunda Hillarius mengunggah status di akun facebooknya yang menceritakan kisah pilu kematian sang buah hati.  Dalam unggahannya Maria seakan mencari keadilan, ia mempertanyakan pengusutan kasus kematian anaknya yang terhenti di tengah jalan. Bahkan ia juga melayangkan curhatannya ke Presiden Jokowi lewat media sosial. Usahanya ini membuahkan hasil. Penyelidikan penyebab kematian Hillaris kembali dilakukan. Makam Hillarius dibongkar dan jenazah pun diotopsi. Akhirnya Tim ahli forensik menemukan luka robek sepanjang 4 cm di ulu hatinya.

Pihak Kepolisian pun terus mengembangkan penyelidikan. Menurut keterangan Kapolres Bogor Kota Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya yang dikutip dari Liputan6.com, Hilari diduga sempat menyerah karena dia tidak bisa berduel. Namun, dia dipaksa duel kembali oleh seniornya hingga ajal menjemputnya. Ada empat orang pelaku yang berinisial BV, HK, MS dan TB dengan perannya masing-masing ditangkap oleh polisi. BV bertarung dengan Hillarius, HK berperan menyuruh melakukan kekerasan, MS sebagai wasit dan TB yang menyuruh dan menempatkan korban untuk berduel. MS selain berperan sebagai wasit juga ikut melakukan kekerasan.

Berdasarkan informasi yang beredar tradisi duel ala Gladiator ini sudah berlangsung lama. Tradisi ini sudah berlangsung sekitar lima tahun dan menjadi tradisi tahunan setiap menjelang turnamen basket di Kota Bogor. Masing-masing sekolah diwakili lima orang. Kemudian mereka duel satu lawan satu secara berbarengan di tengah lapangan. Sungguh miris mendengarnya. Generasi Y, generasi era millenial berperilakunya kembali pada zaman Romawi kuno. Tradisi barbar yang tidak manusiawi. Masyarakat berkomentar kenapa baru ketahuan sekarang? Kemana saja pihak sekolah? Guru-gurunya kenapa tidak tahu siswa-siswanya berduel sampai meregang nyawa. Akhirnya sekolah dan guru yang kena tunjuk hidung.

Perlu kita sadari bahwa terdapat praktek-praktek kekerasan atau bullying yang mengakar dan sulit dituntaskan di lingkungan sekolah. Mazzola (2003) melakukan survei tentang bullying (tindak kekerasan) di sekolah. Hasil survei memperoleh temuan sebagai berikut: (1) setiap hari sekitar 160.000 siswa mendapatkan tindakan bullying di sekolah, 1 dari 3 usia responden yang diteliti (siswa pada usia 18 tahun) pernah mendapat tindakan kekerasan, 75%-80% siswa pernah mengamati tindak kekerasan, sebanyak 15%-35% siswa adalah korban kekerasan dari tindak kekerasan maya (cyber bullying).

Kasus kematian Hillarius ini mencuat dan sekaligus menjadi penyingkap tabir adanya praktek tindakan kekerasan lain di kalangan pelajar. Bukan hanya tradisi Gladiator ala Bom-boman di Bogor, tapi ada praktek gladiator-gladiator lain di kalangan pelajar. Di era tahun 1990 pelajar SMA di Jakarta akrab dengan tawuran, duel yang dilakukan beramai-ramai dengan dilengkapi beragam senjata tajam, maka pada awal tahun 2000-an wujudnya berubah menjadi "partai". Partai merupakan istilah duel bebas tanpa senjata satu lawan satu yang menjadi cikal bakal tradisi duel gladiator yang belakangan ramai diperbincangkan itu. Partai sangat melekat pada identitas pelajar swasta. Jika beberapa sekolah negeri masih banyak yang tawuran, maka gladiator ala partai oleh anak-anak sekolah swasta dianggap jantan.

Beberapa kalangan berpendapat, jika tradisi Gladiator dilakukan menjelang ajang bergengsi anak SMA. Kejadian di Bogor ini persis seperti tayangan film Green Street Hooligans. Film ini disutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Film ini  menceritakan tentang sebuah genk pemuja klub sepak bola, yang pasti anggotanya adalah cowok-cowok Inggris yang hobi berkelahi.  Adegan kekerasan dan penuh konflik banyak ditampilkan di dalam film ini. Bedanya, tradisi duel di film itu dilakukan untuk menyambut pertandingan sepak bola antar klub..

Ada determinasi antara pengaruh tayangan kekerasan atau agresivitas terhadap munculnya perilaku kekerasan pada anak dan remaja. Setiap hari masyarakat kita disuguhi berbagai informasi kekerasan. Setiap kali selalu dijumpai berita-berita tentang kriminalitas seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan, pembacokan dan sebagainya. Masyarakat selalu mendapat suguhan adegan-adegan kekerasan di televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta selalu menayangkan film-film bertema kekerasan, seperti film action, perang, silat, maupun horror.

Bahkan tayangan iklan rokok ternama saja menayangkan adegan duel atau kekerasan. Dalam satu jam durasi penayangan di televisi iklan muncul untuk kesekian kalinya. Terlepas dari persoalan potensi finansial perusahaan media untuk memperoleh pendapatan besar dari iklan perusahaan rokok. Tayangan itu seakan mengedukasi kita untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup dengan kekerasan. Seakan hukum rimbalah yang berlaku dan di atas segalanya, siapa yang kuat dialah pemenangnya. Seharusnya ada regulasi yang tegas dari pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih selektif dan kreatif dalam menyensor tayangan yang berdampak negatif bagi perilaku masyarakat Indonesia terutama anak dan remaja.

Menurut Rusdi Muchtar (dalam Kompas, 16 April 1998), seorang pakar komunikasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berita-berita kriminal di televisi sudah tampak begitu vulgar, sehingga dikhawatirkan memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak dan remaja. Contoh berita kriminal yang vulgar di televisi, menurut Rusdi Muchtar, adalah penayangan secara detil tempat kejadian perkara kasus pembunuhan. Mirisnya dalam olah TKP, bahkan sampai diperlihatkan ceceran darah dan potongan tubuh korban. Disamping itu tayangan tersebut juga ditayangkan berulang-ulang dengan berpindah channel dari stasiun televisi yang satu ke satu televisi yang lain.

Perlu penanganan yang cukup serius dari semua pihak dalam menangani kasus meningkatnya perilaku kekerasan pada kalangan remaja. Seperti diketahui, anak-anak dan pelajar merupakan aset negara yang sangat berharga. Karena kepada merekalah untuk selanjutnya tonggak estafet pembangunan bangsa diberikan. Ketika tonggak estafet pembangunan diterima oleh insan-insan yang lemah dan rusak, maka bisa dipastikan nasib bangsa akan menghadapi masa depan yang suram. Pendidikan karakter telah lama menjadi perhatian pemerintah karena sebenarnya akar pemasalahan bangsa yang sangat kompleks pada awalnya berangkat dari permasalahan karakter bangsa.

Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 (satu) antara lain disebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain di dalam Undang-undang, karakter positif juga banyak ditulis dalam visi dan misi lembaga pendidikan. Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama bagi semua, baik di rumah maupun di sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering menjadi panutan dan tumpuan dalam berbagai hal termasuk panutan dalam mendidik karakter. Pendidikan karakter di sekolah disesuaikan dengan tingkat usia perkembangan mental peserta didik. Suyanto (2010) maupun Miftahudin (2010) sependapat bahwa pembentukan dan pengembangan karakter sudah terjadi sampai anak berusia remaja. Setelah dewasa, karakter yang dimiliki manusia relatif stabil dan permanen.

Pada usia pra sekolah, pendidikan karakter efektif dilakukan oleh keluarga. Oleh sebab itu, penting sekali bagi keluarga baru yang memiliki anak usia balita untuk memberi lingkungan belajar terbaik di rumah. Orang tua harus meluangkan waktunya untuk mendidik anak-anak mereka. Ibu yang mempunyai beban ganda (double burden) dengan bekerja di luar rumah, sebaiknya tidak mempercayakan sepenuhnya pola asuh dan pola didik anak kepada pembantu. Anak usia sekolah (6-12 tahun) mulai memasuki lingkungan di luar rumah. Anak akan lebih percaya dengan perkataan gurunya daripada orangtuanya sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter anak usia sekolah dasar sangat efektif dilakukan di sekolah.

Lingkungan sekolah yaitu guru dan teman-teman sekolahnya memiliki peran yang kuat dalam membentuk karakter anak dan remaja yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan. Remaja memiliki kepribadian yang masih labil dan sedang mencari jati diri untuk selanjutnya membentuk karakter permanen. Kepribadian yang labil dengan ciri-ciri: mudah terpengaruh, selalu ingin mencoba hal yang baru, rasa ingin tahu yang cukup tinggi, mudah tersulut emosi dan lain sebagainya. Pendidikan pada usia remaja menjadi momen yang penting dan menentukan karakter seseorang setelah dewasa. Lingkungan pergaulan di sekolah maupun di rumah mempunyai peluang yang sama kuatnya dalam pengembangan karakter. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara sekolah dan keluarga dalam mengembangkan karakter anak remaja.

Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Jika ditilik satu persatu arti bahasa Jawa ini, Tut Wuri Handayani artinya “Tut Wuri” = Mengikuti dari belakang, “Handayani” = Penyemangat. Jadi arti dari kata “Tut Wuri Handayani” adalah seseorang harus mampu memberikan dorongan moral atau menjadi penyemangat bagi orang yang ada di sekitarnya. Begitulah ajaran dari Ki Hajar Dewantoro tentang bagaimana sosok seorang guru dalam memposisikan dirinya dalam melakukan tugas mulianya. Mendidik, mengayomi dan sekaligus mendampingi anak-anak didiknya. Tugas guru dalam mendampingi siswa remaja lebih kompleks daripada tugas guru pada siswa usia anak-anak. Sesuai dengan karakteristik mental usia remaja yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, tugas guru dan sekolah adalah menciptakan lingkungan yang sebaik-baiknya dengan memberikan banyak aktivitas positif supaya remaja tidak terjerumus pada kegiatan negatif yang merugikan masa depannya.

Pendidikan karakter pada remaja yang dilakukan bersifat pengendalian diri untuk menghindari terjerumus ke dalam karakter yang negatif. Hal ini menjadi penting, supaya mereka terarah dalam karakter yang positif dan dapat menginternalisasi menjadi karakter yang permanen. Sebagai langkah preventif, sekolah harus kreatif dalam merancang dan menyediakan banyak pilihan dengan kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler yang mendukung berkembangnya karakter positif dan menekan peluang munculnya karakter negatif. 

Uraian di atas memberikan gambaran betapa peristiwa demi peristiwa menjadi pelajaran yang sangat berharga kepada semua pihak baik bagi guru maupun orang tua. Jangan sampai tragedi gladiator-gladiator lain terulang kembali. Pendampingan anak dalam pembentukan karakter bukan hal yang dianggap sepele.  Pihak sekolah dan orang tua harus selalu menjalin komunikasi yang baik dan searah. Majemuknya masalah yang dialami remaja masa kini dengan arus percepatan globalisasi ikut berperan dalam memberikan stress. Tekanan-tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat dapat mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku.

Sumber Rujukan.
Mazzola, J. W. (2003). Bullying in school: a strategic solution. Washington, DC: Character Education Partnership.
Mulyatiningsih, Endang, Analisis Model-Model Pendidikan Pendidikan Karakter Untuk Usia Anak-Anak, Remaja dan Remaja.
L. Dion Praditya, Supra Wimbarti, Avin Fadilla Helmi (1999), Pengaruh Tayangan Adegan Kekerasan Yang Nyata Terhadap Agresivitas.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kemdikbud.
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/dari-partai-ke-duel-gladiator-aksi-unjuk-gengsi-anak sma-2000-an#KC5bYIJcK6tc5jYp.99.
Liputan6.com.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kiat Sukses Menembus Gramedia Ala Amir Faisal

Minimnya Perlindungan Profesi Guru

Menanti Kereta Cepat Impian Rakyat