Antara Pribumi dan Non Pribumi


Susi Agustini, S.E., M.Si
Guru SMA Negeri 1 Panji


     Ada sesuatu yang menarik dan menggelitik yang dapat kita tangkap dari penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Sebenarnya kedua istilah ini sudah cukup lama tidak terdengar di telinga masyarakat. Sejak adanya larangan penggunaan kedua istilah tersebut melalui instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. serta UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Sejak saat itulah penggunaan kata pribumi dan non pribumi diganti dengan kata Warga Negara Indonesia.

      Namun, entah mengapa persoalan pribumi ini kembali menjadi sensitif, ketika dalam pidato pertamanya beberapa waktu yang lalu ini, Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan menyinggung masalah "pribumi". Berbicara tentang dikotomi antar istilah pribumi atau penduduk asli Indonesia dengan non pribumi atau penduduk pendatang Indonesia, kita seperti dihadapkan pada kalimat retorika. Apakah ada kriteria khusus untuk menandai suatu kelompok masyarakat itu pribumi atau non pribumi, Mengingat perjalanan sejarah bangsa kita selama berabad-abad, begitu kompleks dengan banyaknya bangsa pendatang yang datang ke nusantara  dan berperan dalam membentuk ke bhinneka an dalam bangsa yang multikultural ini. Dimulai dari kedatangan bangsa China, India, Arab dan Eropa. Bangsa-bangsa itu menetap dan berasimilasi dengan penduduk sebelumnya serta berlangsung selama berabad-abad.

Dikutip dari Wikipedia, Istilah Pribumi atau Bumi Putera sendiri muncul di era kolonial Hindia Belanda, setelah diterjemahkan dari kata Inlander.  Oleh bangsa Belanda, istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Hindia Belanda tahun 1854. Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda istilah inlander digunakan untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli nusantara kala itu, terutama untuk tujuan diskriminisasi sosial. 

    Selama masa kolonial, bangsa Belanda telah menanamkan sebuah rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat yaitu; ras kelas pertama adalah Europenen (Eropa); ras kelas kedua adalah Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah Inlander, yang kemudian diterjemahkan menjadi Pribumi. 

      Baiklah kita perlu mengkaji ulang mengenai istilah yang cukup menggelitik telinga dan menusuk hati sebagian etnis minoritas atau ras tertentu. Penggunaan istilah pribumi dan non pribumi sebenarnya sudah lama masuk peti es karena dianggap rasis dan diskriminatif dengan kondisi masyarakat Indonesia yang cukup multikultural. 


     Dalam konteks masyarakat modern yang terbentuk dari proses sejarah yang panjang dan berantai, sangatlah sulit untuk menentukan siapa itu warga pribumi dan non pribumi. Seperti kita ketahui bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural, terdiri atas berbagai suku dan kebudayaannya yang bhinneka. Kebhinnekaan bangsa Indonesia merupakan anugerah kekayaaan bagi bangsa Indonesia itu sendiri. 


     Penggunaan istilah pribumi dan non pribumi tersebut dianggap sebagai bagian dari bentuk perlakuan rasis dan diskriminatif. yang mengandung bahaya-bahaya potensial yang mengancam keutuhan bangsa. bahaya tersebut lahir dari prasangka (prejudice) yang lahir dari perkembangan watak etnisitas yang sempit.

    Sebuah tulisan klasik dari UNESCO yang dikemukakan oleh Arnold. M. Rose menyatakan akar dari lahirnya prasangka itu sangat kompleks. di dalam tulisannya, Rose mengemukakan akar-akar kompleksitas tersebut: pertama, prasangka lahir dari sikap kecurigaan terhadap kelompok minoritas. perbedaan dan adanya hak-hak istimewa terhadap kelompok mayoritas mempertajam pertentangan antar kelompok, khususnya mayoritas versus minoritas. Kontradiksi mayoritas-minoritas tersebut dapat berdasarkan budaya, agama, ras ataupun perbedaan kelas-kelas ekonomi.

   Kedua, ketakutan yang dibayangkan yang sebenarnya tidak mempunyai dasar. Dapat saja ketakutan tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau kasus perorangan tetapi kemudian berkembang menjadi sejenis ketakutan terhadap kelompok yang dianggap membahayakan kelangsungan hidup seseorang atau kelompok. dalam keadaan demikian biasanya dicarikan “kambing hitam” (scapegoat) yang dibayangkan menjadi biang kerok dari ketakutan tersebut. Rasa ketakutan itu menimbulkan pengambilan jarak (distance) dengan kelompok yang lain yang dianggap membahayakan atau membatasi kemerdekaannya.

Ketiga, mengambil keuntungan personal dari prasangka tersebut. Keuntungan tersebut dalam bentuk keuntungan kekuasaan dalam bidang politik ataupun dalam lingkup ekonomi. Keempat, kecurigaan terhadap yang lain. Kecurigaan tersebut biasanya tidak mendasar atau yang dibayangkan. Lahirlah berbagai apa yang disebut stereotip atau “kambing hitam” di dalam kehidupan. Kambing hitam tersebut dapat berasal dari faktor-faktor ekonomi, budaya, dan agama. Ternyata, pencarian kambing hitam tersebut sama sekali tidak berdasar, tetapi dapat diturunkan dalam suatu kehidupan bersama. Kambing hitam yang sangat berbahaya dan dikenal dalam sejarah manusia hingga sekarang adalah rasisme.

   Kelima, superioritas kompleks dari kelompok mayoritas. Keenam, ketidak tahuan (ignorance) terhadap biaya (cost) yang disebabkan oleh prasangka tersebut. Tanpa disadari suatu kelompok atau masyarakat yang dihinggapi penyakit prasangka terhadap kelompok lain telah merugikan kehidupannya sendiri maupun kehidupan bersama. Kerja sama tidak dapat dibentuk, bahkan permusuhan dilahirkan dari perbedaan-perbedaan yang ditonjolkan di dalam kehidupan bersama.

Demikian sekilas kajian mengenai istilah  pribumi dan pribumi. Semoga kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia entah itu 'pribumi maupun non pribumi', dapat bersikap bijak dalam melakukan literasi kritis dengan mengkaji suatu permasalahan bangsa dan tidak terjebak dalam pemikiran sempit yang berpotensi pada perpecahan. Tetaplah Bhinneka Tunggal Ika dan jayalah Indonesiaku. Merdeka.

Referensi Pustaka:

Arnold M. Rose (1951), The Roots of Prejudice
H.A.R. Tilaar (2004), Karakter Bangsa Yang Cerdas
H.A.R. Tilaar (2004), , Multikulturalisme
https://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kiat Sukses Menembus Gramedia Ala Amir Faisal

Minimnya Perlindungan Profesi Guru

Menanti Kereta Cepat Impian Rakyat